4 Hal Menjadi Penghambat Pembelajaran WFH dalam Dunia Pendidikan Saat Covid 19 Menjadi Raja

Tanggal 20 Maret 2020 nan lalu, pemerintah kab/kota mendapatkan surat dari bupati/walikota kepada sekolah-sekolah se-Sumatera Barat. Surat itu berisi tentang pelaksanaan pembelajaran dilakukan di rumah karena virus corona sudah mulai mewabah di ibu kota.

Kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran dilakukan di rumah. Selama kegiatan belajar di rumah, pendidik memberikan tugas kepada peserta didik sesuai dengan program pembelajaran yang telah ditentukan.

Orang tua sangat berperan dalam mengawasi anak untuk belajar di rumah.
Mereka diminta untuk bekerja sama agar anak mau belajar dan mengawasinya untuk tidak keluar rumah.

Tugas ini dilakukan di rumah dan disampaikan hasilnya melalui aplikasi whatsApp, dan video daring. Saat itu, WAG merupakan salah satu media untuk menyampaikan tugas kepada siswa.

Tak hanya siswa, saya sebagai guru mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tugas yang saya berikan kepada siswa. Saya harus stand by dengan ponsel saya jika ada siswa yang harus saya bimbing.

Lantas apa yang menjadi permasalahan belajar di rumah dalam dunia pendidikan?

Simak ulasan berikut!

1. Ponsel kendala utama bagi siswa

Siapa yang tidak memiliki handpone?
Di era milenial ini, ponsel digital merupakan alat modren yang wajib dikantongi. Memudahkan segala komunikasi dan transaksi lewat layar datar ini. Dengan harga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.

Eit…, tunggu dulu, tidak semua orang memiliki hp. Di era globalisasi ini, kehidupan semakin susah. Jangan ditambah susah. Dapat makan saja 1 x sehari itu sangat luar biasa.

Terlebih bagi orang tua siswa yang rata-rata menjemput rezkinya dari hasil menjual getah karet. Berapalah pundi-pundi yang mereka dapatkan?

Terlebih lagi jika musim penghujan tiba. Mereka hanya bisa pasrah berdiam diri di rumah.

Suatu cerita, teman se profesi saya menceritakan kisah siswanya yang mengumpulkan tugas harus meminjam hp dari tetangganya. Dia bersama orang tuanya meminta maaf akan keterlambatannya dalam mengumpulkan tugas.

Ia harus meminjam hp tetangga untuk mengirimkan tugas kepada gurunya. Itupun jika tetangga tersebut memiliki paket internet. Jikalau tidak, ia akan menyiapkan semua tugas-tugas untuk dikumpulkan sekaligus kepada gurunya.

Sungguh miris memang. Di saat situasi bencana dunia yang mewabah, untuk belajar saja menjadi penghalang.

“Bagaimana jika di daerah tersebut tidak ada sinyal?”

Apakah cara ini efektif untuk dilaksanakan?

2. Keluhan orang tua

Dalam masa pembelajaran di rumah, orang tua mempunyai peran penting membimbing dan mengawasi anaknya secara fisik maupun mental.

Para orang tua harus setia mendampingi anaknya dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Anak membutuhkan perhatikan dan motivasi yang kuat agar mampu menyelesaikan tugas yang diberikan.

Curahan hati orangtua

Berikut ini curahan hati para orang tua yang ada di luar sana.

Mereka menuturkan kepada saya, bahwa tugas yang diberikan oleh guru tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak. Mereka harus mengerjakan setidaknya lebih dari 3 mata pelajaran dalam satu hari.

“Kami sudah tidak sanggup lagi mendampingi anak, jika ada pertanyaan yang tidak kami mengerti. Kami bukan guru karena keterbatasan kami inilah makanya kami menyekolahkan anak kami” tutur orang tua siswa kepada saya.

“Dan anak kami lebih nurut sama gurunya ketimbang orang tua sendiri”, tambahnya.

Mendengar pernyataan tersebut, ada pr terbesar yang harus diperbaiki oleh seorang guru. Rasanya nyesek di dada.

Lalu saya menjelaskan, sebagai seorang guru, ia perlu menimbang dan menakar tugas yang akan diberikan kepada siswa.
Mampukah siswa ini mengerjakan tugas dengan jumlah yang banyak, belum lagi tugas-tugas dari guru yang lain.

Sebagai pendidik yang bijak, saya harus tahu betul akan kondisi siswa. Mempertimbangan pengetahun dan keterampilan siswa yang berbeda-beda. Jangan memaksakan kehendak dan memberatkan siswa.

Jika hal itu berada pada posisi saya sebagai orang tua, Saya juga akan protes seperti itu.

3. Siswa yang cuek

Tugas- tugas diberikan oleh guru melalui aplikasi WAG. Masing-masing kelas membuat grup kelas sesuai dengan mata pelajaran yang diajar oleh guru.

Tugas itu difoto dan dikirim oleh siswa ke WAG tersebut. Guru memberikan batas waktu pengiriman tugas. Di sinilah tugas guru untuk membimbing dan mengontrol setiap tugas yang masuk.

Setelah di cek, ternyata ada sebagian kecil dari siswa yang tidak mengirimkan tugas.
Siswa yang bebal dan tidak mau nurut. Sebagai pendidiknya, di sinilah peran saya sebagai guru.

Saya memberikan motivasi kepada siswa tersebut untuk mengerjakan tugasnya. Memberikan kelonggaran batas pengumpulan tugas agar siswa tersebut mau mengerjakan.

Mereka tidak tahu betapa sulitnya mengoreksi tugas lewat layar datar. Tidak semudah bertatap muka langsung dengan mereka.

Saya harus mencek kondisi hp. Apakah Ramnya cukup untuk memuat tugas-tugas dari ratusan siswa yang diajar. Saya memilih tugas-tugas tersebut dipindahkan ke laptop. Harus rela duduk berjam-jam di depan layar laptop sambil menahan perihnya mata saat mengoreksi tugas.

Lalu saya dihadapkan pada masalah seperti ini. Saya pakai trik “sedikit mengancam” mengaitkan tugas dengan nilai. Jika tugas tidak dikumpulkan maka nilai dirapornya merah. Dan bagi kelas IX, ijazahnya akan ditahan. Bahkan ada yang saya temui ke rumahnya.

4. Kecemburuan pada guru

” Guru enak ya, nggak ke sekolah”.

Kata-kata itu ibarat petir yang menyambar. Tersulut emosi dan terbakar. Kritikan pedas yang membuat telinga semakin panas.

Hello…., kami juga bekerja hanya tempatnya saja yang berbeda. Jika kami ke sekolah, lantas siapa yang akan kami ajar.

Jangan kira kami hanya tidur dan duduk-duduk saja di rumah. Kami memiliki tanggung jawab penuh terhadap pembelajaran yang dilakukan di rumah.

Bukan itu saja, kami juga memberikan laporan harian kegiatan pembelajaran yang mesti kami isi setiap hari. Belum lagi tugas sebagi orang tua di rumah yang setia mendampingi anak kami mengikuti tugas belajar di rumah.

Terkadang kami harus rebutan hp dengan anak kami. Mendahulukan tugas kami sebagai guru atau tugas sebagai orang tua yang mendampingi anak belajar di rumah.

Jadi sekali lagi, jangan mencap kami sebagai orang yang makan gaji buta. Berhentilah menghujat kami, karena kami juga manusia biasa.

Lakukan saja tugas dan fungsi kita masing-masing. Setiap pekerjaan memiliki tupoksi yang berbeda-beda.

Jangan menambah rumit beban negeri ini dengan bibirmu yang berbisa. Perbanyaklah beribadah dan mendekatkan diri pada Allah, mumpung di bulan puasa.

Tulisan saya ini bukan bermaksud untuk menggurui. Koreksilah diri karena kita sedang diuji.

More From Forest Beat

Tiga Tahun Sudah

Rasanya baru kemarinKetika kami malu-maluDatang di tempat ini Bertemu dengan kawan dan guru yang baruTujuan kami di sini hanya satu menggapai cita dan harapan berbudi...
Pendidikan
0
minutes

Misteri Hujan

Hujan membasahi bumi kota dolar pagi iniLangit mulai dipenuhi kawanan awan hitamRinai membasahi tubuh kecilkuBasah bercampur dingin menusuk ragakuGemuruh mulai terdengar samar-samarCahaya kilat itu...
Pendidikan
0
minutes

Susah Mana, Menulis Curhatan atau Menulis Artikel?

Setelah sekian purnama, akhirnya saya punya kesempatan untuk menulis di blog baraguma. Meski awalnya cukup kebingungan dengan apa yang enak untuk dibahas di blog...
Opini
3
minutes

Membumikan Budaya Literasi Pada Peserta Didik

Bahasa Indonesia berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang mesti dilestarikan. Tidak hanya dikuasai tetapi juga harus dipraktikkan dengan...
Opini
6
minutes
spot_imgspot_img